Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengingatkan tentang rendahnya rasio pembiayaan terhadap nilai biaya, atau lazim disebutloan to value ratio (LTV). Idealnya, down payment (DP)—sering disebut uang muka, minimal 30% dari nilai barang atau pembiayaan.
Selama ini, perusahaan multifinance mematok uang muka 10%-20% dari harga jual. Banyak pula perusahaan yang memasang uang muka di bawah 10% dari nilai jual. Alhasil, kredit kendaraan bermotor, laris bak kacang goreng.
Kekhawatiran Darmin cukup beralasan. Ia melirik pengalaman Lehmann Brothers, lembaga keuangan internasional Amerika Serikat yang jor-joran mengucurkan kredit properti sehingga membawa krisis moneter pada 2008.
Dari kasus ini, BI kemudian menetapkan kebijakan uang muka kendaraan bermotor roda dua, BI menetapkan uang muka minimal 25%. Sedangkan untuk roda empat dipatok 30%, roda empat nonproduktif sebesar 20%. Untuk realisasinya, BI mematok waktu 3 bulan melalui Surat Edaran BI No 14/10/DPNP. Pengetatan ini, kata Darmin, diperlukan untuk mengerem laju kredit konsumsi yang terus melesat. ‘’Kami ingin pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumtif itu sedikit lebih lambat,’’ katanya.
BI punya kekhawatiran yang cukup serius. Sebab, bila industri multifinance gulung tikar, dampaknya bakal terasa ke perbankan. Soalnya, sumber pendanaan industri multifinance banyak yang berasal dari perbankan.
Gayung bersambut. Pada 15 Maret 2012, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menerbitkan Permenkeu No 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan (Multifinance).
Dalam aturan tersebut, uang muka untuk kredit kendaraan bermotor roda dua dipatok minimal 20% dari harga jual. Sedangkan untuk roda empat, ditetapkan minimal 20% dari harga jual. Untuk kendaraan bermotor roda empat nonproduktif, minimal 25% dari harga jualnya.
Bapepam-LK pun sepakat tentang perlunya pengetatan kredit kendaraan bermotor dan perumahan. “Saat ini, pertumbuhan industri multifinance, terlalu cepat. Harus direm. Caranya dengan memperketat regulasinya,” kata Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK, M Ihsanudin.
Ketatnya aturan uang muka kredit, tentu perlu pengawasan. Ini menjadi tugas berat bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan terbentuk, Juni mendatang. Tak hanya itu, tugas berat lainnya menyangkut ketegasan. Selama menjalankan pengawasan, Bappem-LK mencabut puluhan perusahaan multifinance pelanggar aturan. Atau perusahaan yang hampir ambruk, langsung dicabut izinnya.
Sejak 2009, perusahaan multifinance yang dicabut izinnya, rata-rata di atas 10 perusahaan. Pada 2009, Bapepam-LK melikuidasi 16 perusahaan dan setahun berikutnya, turun menjadi 10 perusahaan. Pada 2011, terdapat 13 perusahaan multifinance yang dicabut izinnya oleh Bapepam-LK, karena dinilai melanggar aturan.
Dalam menjalankan pengawasan, Bappepam-LK tak mau terlambat. Artinya, lembaga ini tak perlu menunggu perusahaan kolaps, baru menutup izin. Nah, bagaimana dengan OJK, yang akan menggantikan Bapepam-LK?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar