Jumat, 25 Mei 2012

Keamanan dan Stabilitas di Atas Segalanya - nasional.inilah.com


Jakarta - Di bawah Soeharto, Indonesia stabil dari sisi keamanan dan politik. Latar belakang militer membuat Soeharto tak terlampau percaya pada demokrasi dalam arti sebebas-bebasnya.
Setelah masa demokrasi liberal yang pendek usia di awal 1950-an, dan demokrasi terpimpin ala Presiden Soekarno, Soeharto memilih mengembangkan model demokrasinya sendiri. Dan, dia memilih nama ‘Demokrasi Pancasila’. Tafsir tunggal demokrasi model ini ada di tangan Soeharto sendiri.
“Demokrasi Pancasila merupakan upaya untuk menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Ciri khas Demokrasi Pancasila adalah penolakan kemiskinan, keterbelakangan, perselisihan, pemerasan, kapitalisme, feodalisme, kediktatoran, kolonialisme, dan imperialisme,” kata Soeharto.
Dia tidak percaya eksistensi oposisi sebagai bagian dari kehidupan politik bernegara. “Dalam Demokrasi Pancasila, tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat,” katanya dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
“Kalau orang berbeda pendapat, saya sarankan agar mereka memikirkannya baik-baik hingga dapat diraih sebuah konsensus. Jangan tidak setuju hanya karena ingin bersilang pendapat walaupun Anda telah terbukti keliru. Sikap seperti itu tidak dapat diterima di sini,” katanya.
Konsep ‘Demokrasi Pancasila’ ini membuat kagum Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Malaysia 1981-2003. “Kita memerlukan demokrasi, tetapi demokrasi seperti di Barat tidak cocok untuk negara yang lain, karena masing-masing negara memiliki kekhasan dan tidak dapat dipaksakan,” katanya.
Atas nama Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sebuah demokrasi menolak partai komunis yang dianggap tidak bertuhan. Partai Komunis Indonesia dan hal-hal berbau komunisme dilarang hidup lagi, karena tidak berperikemanusiaan sebagaimana yang digariskan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dalam kehidupan demokrasi sentralistis. Tidak ada otonomi daerah, dan semuanya terpusat. Apa yang terpusat adalah bagian dari upaya persatuan Indonesia.
Partai-partai tak boleh terlalu hiruk-pikuk. Maka jumlah partai peserta pemilu disederhanakan menjadi tiga. Jika di negara demokratis liberal, seperti Amerika Serikat, penyederhanaan partai berjalan secara alamiah karena publik merasa cukup dengan partai yang ada, maka di era Soeharto penyederhanaan atau fusi partai dilakukan dengan paksaan. Ia juga mengadaptasi ucapan Bung Karno di masa 1950-an tentang: mari kita kubur partai-partai.
Soeharto betul-betul mengubur partai melalui fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan. Partai-partai nasionalis, sekuler, dan non-Islam bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia.
Sementara, Golongan Karya diidamkan menjadi partai tengah. Soal ini, Soeharto mengibaratkan partai dengan kendaraan di jalan. “Dengan satu-satunya jalan yang ada, mengapa kita mesti punya begitu banyak kendaraan, sampai sembilan? Mengapa kita harus saling ngebut dan bertabrakan,” katanya.
Pers pun diharuskan mengikuti irama harmoni Demokrasi Pancasila. Ia memerintahkan kepada Menteri Penerangan Mashuri untuk menutup 11 penerbitan pers. Mereka dianggap bertanggung jawab memprovokasi massa agar marah dan berunjuk rasa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka. Unjuk rasa tersebut membesar menjadi kerusuhan yang dikenal dengan peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974. Bagi Soeharto, pers haruslah menjadi corong pemerintah dan pancasilais.
Sebagaimana ditulis wartawan asal Inggris, Richard Lloyd Parry: “Manusia Pancasila yang benar menempatkan kesetiaan pada Negara di atas seluruh kesetiaan pada agama, suku, atau kewilayahan. Dia taat pada pihak berwenang dan selalu bersedia untuk menundukkan hak-hak individualnya. Dia mengutamakan kestabilan, keamanan, pembangunan, dan di atas semua itu, konsensus—artinya, sesungguhnya, dia setuju dengan apa yang diputuskan Soeharto.”
Soeharto rela dan berani melakukan tindakan keras dan tegas jika dirasa itu untuk menegakkan stabilitas dan keamanan. Ini sebuah visi khas militer. Tak heran ia memilih melakukan pendekatan militer untuk menyelesaikan konflik Aceh dan Papua. Kelompok-kelompok Islam dan nasionalis juga ditekan untuk tidak melawan.
Fenomena ‘penembak misterius (Petrus)’ di era 1980-an adalah bagian dari tindakan represif menegakkan keamanan dan stabilitas. Sasaran ‘Petrus’ adalah orang-orang yang diduga penjahat dan preman. Mereka sudah dinilai keterlaluan dalam mengganggu ketertiban. “Kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas,” katanya. Hasilnya, Petrus diklaim menurunkan angka kejahatan drastis.
Kerasnya pemerintahan Soeharto dalam penegakan stabilitas keamanan disambut positif Mahathir Mohammad. “Memang ada yang berpendapat bahwa pemerintahan Pak Harto keras, tetapi kami tidak melihatnya seperti itu, karena tidak mungkin suatu pemerintahan tidak berlaku tegas, dengan membiarkan sama sekali adanya masalah-masalah,” katanya. [bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar