Rabu, 09 Mei 2012

Menakar Kenegarawanan Ical & Akbar - nasional.inilah.com


 Jakarta - "Ical dan Akbar Tanjung bukan negarawan", tulis Noeh Hatumena, wartawan senior yang pernah menjadi Koresponden Kantor Berita Nasional Antara di Canberra, Australia.
Yusca Ismail, pendiri dan Presiden Direktur sebuah Biro Iklan terkemuka melanjutkan : "Indonesia belum punya negarawan...!". Noeh dan Yusca menulis di jejaring sosial Facebook, Rabu 9 Mei, setelah membaca posting tentang perseteruan Ical dan Akbar Tanjung yang sebelumnya diturunkanINILAH.COM.
Kalau kriteria politik yang digunakan, maka pandangan Noeh Hatumena dan Yusca Ismail tentang negarawan mungkin bisa bias. Tetapi jika yang dijadikan tolok ukur adalah keberanian mengekspresikan pendapat, jujur, serta dengan niat positif, maka penilaian kedua profesional itu sangat layak dijadikan bahan rujukan.
Indonesia saat ini memang ditengarai sedang menghadapi krisis multi dimensi. Krisis, sebagaimana sebuah persoalan, memang tidak gampang mengatasinya. Namun, bagi pemimpin yang kapabel dan visioner, krisis separah dan serumit apapun, sesungguhnya tetap dapat diatasi.
Lihat saja Malaysia dan Thailand yang juga ditimpa krisis moneter seperti Indonesia pada pertengahan 1997. Dua negara itu tidak terpuruk seperti Indonesia. Padahal penyebab krisisnya sama. Krisis dan keterpurukan Indonesia dirasakan sangat menganggu dan menambah kerisauan karena di tengah krisis itu tidak hadir pemimpin yang bersosok negarawan.
Semenjak lengsernya Soeharto di 1998, sudah empat orang yang menjadi Presiden, yakni BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi tak satupun dari keempat pemimpin nasional itu yang mampu mengembalikan posisi Indonesia seperti di zaman emasnya Presiden Soeharto.
Bahkan secara ekstrim ada yang mulai menyebut Indonesia sebagai negara yang tengah menuju ke status negara gagal seperti yang sudah terjadi di sejumlah negara di Afrika Hitam.
Presiden SBY yang dua kali dipilih langsung oleh jutaan rakyat Indonesia di 2004 dan 2009, tadinya sangat diharapkan akan mampu memulihkan Indonesia. Tapi alih-alih memulihkan kepentingan 240 juta rakyat Indonesia, mengatasi persoalan internal Partai Demokrat, partai yang ikut didirikannya, sepertinya masih belum beres.
Oleh karena itu, muncullah pemikiran dan wacana tentang negarawan yang mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis. Selama ini yang dirujuk sebagai negarawan, secara tidak resmi barulah Soekarno dan Soeharto.
Padahal kedua bekas Presiden RI itu juga ditengarai memiliki banyak kelemahan. Tetapi mengapa kelemahan kedua bekas Presiden itu tidak lagi dijadikan bahan pertimbangan? Kalau itu dilakukan, bakal tak ada lagi tokoh yang bisa disebut negarawan.
Jadi okeylah, Soekarno dan Soeharto punya kelemahan. Namun mereka masih punya kelebihan. Nah kelebihan itulah yang diangkat setinggi-tingginya. Kelebihan mereka adalah mampu menjadi pemimpin di Indonesia saat persoalan yang dihadapi bangsa begitu kompleks.
Bukan itu saja ketika memimpin (menjadi Presiden) keduanya mengeluarkan sejumlah konsep yang jangkauannya berdimensi luas, global dan tentu saja bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Soekarno selain sebagai proklamator, menjadi pemimpin Indonesia ketika kondisi negara masih karut marut.
Diawali dengan kesediaan menjadi Proklamator. Kesediaan itu saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Jangan dipandang enteng membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945, ketika belum ada kepastian apakah seluruh rakyat Indonesia sudah siap untuk merdeka. Sehingga keberanian Soekarno dianggap sebuah sikap dari manusia yang berani mengambil risiko (risk taker).
Setelah membacakan naskah proklamasi, Indonesia pun menjadi sebuah negara merdeka. Tetapi kemerdekaan itu, belum punya makna apa-apa. Indonesia yang baru merdeka, tak ubahnya dengan bayi yang baru saja lahir. Untuk beberapa waktu, Indonesia masih harus bergantung pada bantuan pihak lain sampai akhirnya bisa berjalan, berbicara dan bertindak.
Salah satu konsep yang dikeluarkan Soekarno sehingga pada akhirnya "bayi Indonesia" menjadi seorang anak manusia yang bisa berdiri, berjalan kemudian menjadi remaja dan bisa berproduksi, adalah mengobarkan semangat kebangsaan.
Dengan modal dan semangat kebangsaan itu pula, Soekarno menyusun rezim pemerintahannya. Dasar penyusunannya antara lain kapabilitas dan integritas. Jadi tanpa melihat asal-usul, ras, suku, agama dan lain sebagainya dari setiap Menteri, dia minta mereka untuk bekerja.
Maka tidak heran, jika dalam kabinet pertama Soekarno yang ditunjuknya sebagai Menteri Keuangan adalah AA Maramis, putera Indonesia asal Kawanua dan seorang pemeluk agama Kristen. Yang dilihat dan dinilai Soekarno adalah apakah Maramis memang seorang manusia Indonesia yang mampu menjadi Menteri Keuangan di saat negara tidak punya uang sama sekali.
Tentu saja menjadi Menteri Keuangan di tahun 1945, sangat berbeda tugas dan tanggung jawabnya dengan di tahun 2005. Tidak ada yang bisa dikorupsi. Jangankan Bank Century yang harus ditolong, Bank Sentral (BI) saja belum terbentuk.
Contoh ini menjadi relevan untuk masa sekarang dan ke depan, apalagi bagi Ical dan Akbar yang sedang membicarakan bagaimana menjadi Presiden RI yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Soekarno sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) tidak membuka peluang bagi perdebatan-perdebatan yang didasarkan pada primordialisme.
Lantas bagaimana dengan Soeharto? Dengan situasi yang lebih kondusif, Soeharto mulai mengatasi krisis multi partai. Belasan partai politik yang masing-masing memiliki ego dan akar sejarahnya, ia paksa untuk bergabung. Hasilnya selama Soeharto menjadi Presiden, Indonesia hanya punya dua partai . Yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan rumah bagi semua partai dan ormas Islam dan Partai Demokrasi Indonesia yang mewadahi kelompok nasionalis seperti PNI, IPKI dan Murba, kemudian Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik.
Yang unik dari strategi Soeharto, sekalipun Golkar ikut pemilu dan menjalankan fungsi-fungsi sebuah partai politik, tetapi secara resmi semua pihak tidak boleh menyebut Golkar sebagai partai. Golkar baru disebut partai setelah reformasi (1998).
Disini antara lain terlihat keberanian Soeharto berbeda sekaligus menghadapi risiko. Di luar sistem politik kepartaian, Soeharto meluncurkan Satelit Palapa. Peluncuran di 1975 itu, tadinya tidak dianggap sebagai sebuah keputusan yang visioner.
Tapi coba bayangkan pada saat ini, bila Indonesia tidak memiliki satelit. Apa mungkin akan ada sistem telekomunikasi yang begitu mudah dan lancar? Demikian pula apa mungkin akan ada transaksi perbankan secara on-line, internet, televisi, Facebook, Twitter dan lain-lain ?
Hal lain yang sering dilupakan orang keputusan Soeharto untuk memperkenalkan program Keluarga Berencana. Keputusan itu selain dianggap bertentangan dengan falsafah "banyak anak, banyak rezeki", keputusan itu juga mengandung hal-hal yang sangat baru. Misalnya pasangan suami isteri diimbau menggunakan alat pengaman ketika melakukan hubungan intim. Kelihatannya sederhana, tetapi secara psikologis mengganggu.
Namun hasil dari program Keluarga Berancana itu, sangat positif. Indonesia terhindar dari ledakan penduduk. Dengan keberhasilan program KB, pemerintah mampu menyusun program penyediaan sekolah, rumah, sandang dan kebutuhan 9 bahan pokok serta berbagai ikutan lainnya.
Sejauh ini, belum terdengar dari Ical dan Akbar apa visi mereka tentang Indonesia ke depan. Rakyat hanya tahu, Ical merupakan salah seorang pengusaha top Indonesia sedangkan Akbar seorang politisi yang pintar bermanuver.
Kalau baru itu modal mereka, pendapat wartawan senior Noeh Hatumena ada benarnya dan penilaian Yusca Ismail, putera bekas Dubes RI di Jerman Barat, benar adanya! [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar