Minggu, 15 April 2012

Akbar Buka Jalan JK, Rekonsiliasi Begawan Politik - nasional.inilah.com

Jakarta - Internal Partai Golkar tengah bergolak, nuansa itu tak bisa ditutup-tutupi lagi. Pergolakan terjadi di level pucuk pimpinan antara Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Ketua Dewan Pembina Akbar Tandjung.

Duet maut yang sukses menyingkirkan duo Surya Paloh-Jusuf Kalla di Munas Golkar 2009, Pekanbaru itu kini tak sejalan lagi. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah persoalan 2014.

Ical sudah 'ngebet' mau menjadi calon presiden (capres) tunggal Golkar. Sementara Akbar memiliki visi lain yaitu memberi kesempatan kepada Jusuf Kalla (JK) untuk berkompetisi menjadi capres di internal Golkar.

Memang awalnya banyak yang meragukan ketulusan Akbar memberi jalan untuk JK, bahkan ada yang menduga, sebenarnya, Akbar mendorong JK berbenturan dengan Ical untuk memuluskan langkahnya bisa jadi capres Golkar.

Dugaan itu wajar mengingat Akbar adalah politikus ulung yang licin dan piawai. Namun ingat, Akbar adalah kader tulen sekaligus penyelamat Golkar dari jurang keterpurukan pasca-Orde Baru. Menurut sumber yang dapat dipercaya, Akbar kabarnya sungguh tulus ingin membuka jalan capres bagi JK. Lho ada apa?

Mari kita mundur beberapa tahun ke belakang. Akbar tidak hanya dikenal sebagai politikus ulung, namun sangat layak disebut sebagai begawan politik. Ibarat jenderal perang, Akbar tak hanya piawai menyerang dan bertahan, tapi juga lihai melakukan langkah-langkah perdamaian.

Ingat, era Orde Baru tumbang selain karena People Power tapi juga karena Akbar berhasil menggembosi Soeharto dengan cara membuat surat pernyataan pengunduran diri 14 menteri dari kabinet.

Kemudian, setelah menjadi ketua umum Partai Golkar dan berhasil membawa partai berlambang pohon beringin itu menjadi jawara pada Pemilu 2004, Akbar mulai melakukan langkah rekonsiliasi politik dengan Soeharto dan keluarga Cendana.

Akbar mencoba mendekatkan kembali Golkar dengan kekuatan Cendana. Bahkan dia tak canggung mewacanakan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto. Banyak yang menganggap, hal itu bagian dari upaya rekonsiliasi politik Akbar dengan Soeharto dan keluarganya.

“Soeharto merupakan pahlawan nasional yang telah menyelamatkan bangsa kita dari berbagai tindakan yang ingin mengubah dasar dan haluan negara kita,” ujar Akbar dalam satu kesempatan.

Lalu, setelah Akbar menduduki jabatan ketua Dewan Pembina Golkar pada 2009, dia termasuk yang mendukung agar keluarga Cendana, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto direkrut menjadi salah satu ketua DPP.

Rekonsiliasi politik adalah salah satu gaya politik Akbar. Dalam konteks inilah, dia memberi jalan bagi JK untuk menjadi capres Golkar. Karena Akbar jualah yang berperan menyingkirkan JK dari pucuk kekuasaan di Golkar.

Dalam Munas Golkar 2009 di Pekanbaru, Ical berkat dukungan Akbar berhasil mengalahkan duo Surya Paloh-JK dengan angka yang ketat. Tak dapat dipungkiri, peranan mesin politik Akbar mengalahkan JK cukup signifikan. Ketika itu, loyalis-loyalis Akbar melebur dengan tim sukses Ical.

Adapun JK, ketika itu memilih berada di belakang Paloh, karena keduanya dikabarkan memilikigentlemen agreement yang dibuat pada 2004, ketika JK mengalahkan Akbar di Munas Bali. Ketika itu JK berjanji kepada Paloh hanya akan jadi ketua umum Golkar satu periode dan selanjutnya akan mendukung Paloh sebagai penggantinya.

Sekali lagi, rekonsiliasi politik adalah fatsun politik Akbar. Karena dalam politik tak ada kawan dan musuh yang abadi. Tentunya Akbar tak akan mengungkapkan hal itu kepada publik karena terlalu personal. Namun Akbar memiliki penjelasan yang sangat rasional, yaitu penelitian empiris, bahwa tingkat elektabilitas dan popularitas JK di atas Ical.

Dalam survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 1-12 Februari 2012 dengan jumlah responden 2.050 sampel dari 33 provinsi dengan margin error 2,2 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen, menunjukkan tingkat elektabilias JK lebih tinggi daripada Ical.

Di urutan pertama Megawati dengan dukungan 15,2 persen, kemudian secara berturut-turut disusul Prabowo Subianto (10,6%), Jusuf Kalla (7%), Aburizal Bakrie (5,6%), Sultan Hamengkubuwono X (4,9%), Wiranto (3,9%), Boediono (3%), Surya Paloh (2,6%), Hatta Rajasa (2,2%), calon lain (11,5%), belum tahu (18,2%).

Inilah momentum Akbar untuk melakukan rekonsiliasi politik dengan JK. Kenapa hanya dengan JK, tidak dengan Paloh? Mungkin karena JK masih setia kepada Golkar, sedangkan Paloh sudah deklarasi keluar dari Golkar dan kini asyik dengan 'mainan' barunya, Nasdem.

Bagi Akbar, JK adalah aset Golkar. Betapa meruginya Golkar jika JK sampai dipinang oleh parpol lain. Kalkulasi politik Akbar berbicara, JK dan Ical berada pada klasifikasi yang sama yaitu sipil non-Jawa dan kader utama Golkar sedang dan pernah menjadi ketua umum Golkar.

Jika Golkar terlalu pagi menetapkan Ical sebagai capres tunggal, dipastikan JK beserta gerbong besarnya akan mencari kendaraan politik lain agar bisa menjadi capres. Dan itu, bagi Akbar adalah kerugian besar Golkar. Karena 'mesin perang' JK masih ada dan masih bergerak, khususnya di Indonesia Timur.

Sebagai begawan politik, Akbar menunjukkan kebesaran jiwa meminta Golkar tidak terburu-buru menetapkan Ical sebagai capres tunggal. Akbar meminta agar mekanisme penetapan capres dilakukan secara demokratis. Konkritnya, tidak mesti konvensi capres sebagaimana pada 2004, melainkan kombinasi mekanisme survei empiris dan kalkulasi politik matang.

Kalaupun pada akhirnya JK tetap kalah setelah melalui mekanisme demokratis tersebut, dan Ical yang terpilih sebagai capres Golkar, paling tidak Akbar sudah berupaya memberi jalan bagi JK. Pada hakikatnya, itu adalah bentuk rekonsiliasi politik Akbar terhadap JK.

Tampaknya Akbar ingin karier politiknya kelak ditutup secara khusnul khotimah tanpa ada dendam sedikitpun kepada mantan rival politiknya. Entah apakah JK bisa menangkap sinyal itu? Namun yang jelas sudut pandang ini tak mudah dicerna, sebab seperti pepatah, "Hati orang siapa tahu."

Entah tulus atau tidak Akbar memberi jalan bagi JK menjadi capres Golkar, namun yang jelas, rekonsiliasi politik adalah sebuah keniscayaan. Itulah fatsun politik dan ciri khas sang begawan politik. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar