Minggu, 15 April 2012

Tak Mudah Mengawasi Perbankan - ekonomi.inilah.com


 Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas), tidak sedang bercanda. Dia meminta, posisi Ketua Dewan Komisioner dan Ketua Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berasal dari kalangan perbankan.
Sigit bukan tanpa alasan bicara begitu. Soalnya, saat ini, perbankan menguasai sekitar 80% aset industri keuangan dengan jumlah pegawai 250 ribu orang. “Perbankan memiliki peran paling besar dalam sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, kedua posisi tersebut diisi bankir,” katanya.
Memang, tak mudah mengawasi industri perbankan yang begitu dinamis. Bank Indonesia saja yang bertahun-tahun mengawasi perbankan, berkali-kali kecolongan. Tengok saja di era Orde Baru lalu, ketika perbankan diguncang krisis moneter 1997-1998. Sebanyak 48 bank kolaps,BI pun mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Bak menggarami lautan, kebijakan tersebut bukannya mendongkrak likuiditas perbankan, BLBI malah menjadi lahan bancakan. Semuanya akibat lemahnya pengawasan BI sehingga dana BLBI tak memberikan dampak sedikitpun bagi penyehatan perbankan.
Cerita BLBI kembali berlanjut di era reformasi. Menjelang Pemilu 2009, terjadi skandal Bank Century. Akibat kasus tersebut, kerugian negara mencapai Rp 6,7 triliun. Para nasabah bank tersebut harus rela kehilangan dana sampai triliunan rupiah.
Alih-alih kasusnya diusut tuntas. Bank Century yang keuangannya megap-megap, malah mendapatkan suntikan dana segar sebesar Rp 6,7 triliun. Lebih miris lagi, pemilik Bank Century yakni Rafat Ali Rizfi dan Hesyam Al Waraq malah bebas berkeliaran.
Masih tentang lemahnya pengawasan BI terhadap perbankan, Mabes Polri punya catatan khusus. Sejak 2010 sampai kuartal pertama 2011, sedikitnya ada sembilan kasus pembobolan bank.
Juga masih segar dalam ingatan, brangkas kantor BRI Tamini Square, Jakarta Timur kebobolan Rp 29 miliar. Dalam kasus ini, supervisor bank pelat merah itu, ditetapkan sebagai tersangka. Modusnya, uang nasabah ditransfer ke rekening orang lain. Kemudian ditukar dalam bentuk dolar AS.
Adapula modus kucuran kredit dengan jaminan atau agunan bodong, menyebabkan BII Cabang Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat, menelan kerugian Rp 3,6 miliar. Kasus yang menyeret account officer BII itu, terjadi pada 31 Januari 2011.
Kasus lainnya, pencairan deposito senilai Rp 18 miliar di Bank Mandiri tanpa sepengetahuan pemiliknya. Caranya dengan memalsukan tanda tangan. Selanjutnya, dana tersebut dimasukkan ke dalam rekening orang lain. Kasusnya dilaporkan 1 Februari 2011, salah satu tersangkanya adalah costumer service Bank Mandiri.

Bank pelat merah lainnya yang kebobolan adalah BNI. Modusnya cenderung rumit, yakni dengan melayangkan telex palsu, tentang perintah membuka rekening kredit modal kerja. Kasus yang menyeret Wakil Pimpinan BNI Depok itu, bisa digagalkan, karena canggihnya sistem perbankan yang diterapkan.
Kemudian, pencairan deposito nasabah BPR Pundi Artha Sejahtera. Kasusnya melibatkan sejumlah pimpinan BPR yakni Dirut, komisaris, komisaris utama dan marketing.
Yang menghebohkanlagi, kasus Malinda Inong Dee, mantan relationship manager Citigold Citibank. Hanya berbekal slip penarikan kosong yang ditandatangani nasabah, Malinda sukses membobol Citbank.
Kasus-kasus seperti ini bakal terus terjadi selama masih ada celah bagi orang untuk berbuat curang. Kini, tugas OJK mencegahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar